1. PROSES PENYUSUNAN KITAB SUCI PERJANJIAN LAMA
1.1 Pengantar
Kitab -kitab yang termasuk
dalam Kitab Suci Perjanjian Lama berjumlah 46
(empat puluh enam).
Tentu saja kitab-kitab itu tidak ditulis dalam waktu bersamaan, melainkan melalui suatu proses panjang. Berikut
ini garis besar proses tersusunnya Kitab
Suci Perjanjian Lama.
Secara garis besar Kitab Suci Perjanjian Lama memuat dua bagian besar, yakni Kitab Prasejarah dan Kitab
Sejarah. Kitab Prasejarah, mulai dari Kisah Penciptaan sampai dengan Menara
Babel (Kejadian 1-11), sedangkan Kitab Sejarah Israel mulai dari Abraham yang
hidup sekitar tahun
2000/1800 sebelum Masehi sampai menjelang Yesus Kristus. Namun, sejarah yang ditulis dalam Perjanjian Lama
lebih merupakan sejarah iman. Maka,
untuk mengetahui proses terjadinya Kitab Suci Perjanjian Lama, sebaiknya dimulai dengan awal sejarah Israel yaitu sekitar tahun 1800 sebelum Masehi. Oleh sebab
itu, untuk mengetahui proses
tersusunnya Kitab Suci Perjanjian Lama, proses akan dimulai pada saat awal sejarah Israel,
yaitu sekitar tahun 1800 SM.
1.2 Periodisasi
Sejarah Bangsa Israel sebagai Bingkai Penyusunan Kitab Suci Perjanjian Lama
1.2.1 Periode I (Antara
tahun 1800 - 1600 S.M.): Zaman Bapa-bapa bangsa (Abraham-Ishak-Yakub).
Periode ini adalah awal
sejarah bangsa Israel yang
dimulai dari panggilan Abraham sampai dengan kisah tentang Yakub. Dalam tahun inilah
Bapa-bapa bangsa hidup. Sebagian kisah mereka tersimpan dalam Kej 12 - 50. Kisah ini
kemudian diteruskan secara
lisan turun temurun.
1.2.2 Periode II (Antara
tahun 1600 - 1225 S.M.): Pengungsian
bangsa Israel ke Mesir sampai dengan Perjanjian Sinai
Periode ini adalah periode kisah bangsa Israel mengungsi
ke Mesir,
perbudakan di Mesir, pembebasan dari Mesir sampai Perjanjian di Sinai. Kisah-kisah
tersebut juga masih disampaikan secara lisan. Mungkin sekali 10 perintah Allah (Dekalog) dalam rumusan yang pendek sudah
ditulis
pada masa ini sebagai pedoman hidup.
Ini adalah inti Kitab Keluaran
1.2.3
Periode III (Antara tahun 1225 - 1030
S.M.): Perebutan tanah Kanaan dan zaman Hakim-Hakim.
Pada periode ini, bangsa Israel merebut tanah Kanaan yang diyakini
sebagai Tanah Terjanji di bawah pimpinan Yosua dan kehidupan bangsa Israel
di tanah yang baru di bawah para tokoh yang diberi gelar Hakim. Hakim-hakim itu
antara lain adalah Debora, Simson, dan sebagainya. Di samping cerita pada
masa ini, juga sudah terdapat
beberapa hukum.
Ini adalah inti Kitab
Yosua
1.2.4
Periode IV (Antara tahun 1030 - 930
S.M.): Periode Raja-Raja.
Pada periode ini,
bangsa
Israel memasuki tahap baru dalam kehidupannya. Mereka mulai menganut sistem kerajaan
yang diawali dengan raja Saul, kemudian digantikan oleh raja Daud
dan diteruskan oleh raja Salomo, putra Daud. Pada masa inilah bangsa Israel menjadi cukup
terkenal dan disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Pada zaman raja Saul, Daud, dan Salomo, bagian-bagian Kitab Suci Perjanjian Lama
mulai ditulis. Misalnya, Kisah Penciptaan Manusia, Manusia
jatuh dalam dosa dan akibatnya, Bapa-bapa Bangsa, Kisah Para Raja, beberapa bagian Mazmur, dan
hukum-hukum.
Kehidupan raja-raja inilah yang menjadi Inti
Kita Raja-raja
1.2.5
Periode V (Antara tahun 930 - 722
S.M.): Kerajaan Israel dan Yahuda.
Sesudah
raja
Salomo wafat, kerajaan Israel terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan Utara (Israel) dan kerajaan
Selatan (Yuda). Kerajaan Utara hanya berlangsung sampai tahun
722 S.M. Pada periode ini dilanjutkan dengan penulisan Kitab-kitab Suci Perjanjian Lama
yang melengkapi cerita-cerita
Kitab Taurat Musa serta beberapa tambahan hukum. Di samping itu, pada periode ini mulai muncul pewartaan
para nabi dan kisah para nabi seperti Elia
dan Elisa, Hosea, Amos. Beberapa bagian pewartaan para nabi mulai ditulis.
Pada masa ini, beberapa kumpulan hukum perjanjian mulai diterapkan dan ditulis.
Kita dapat membacanya dalam kitab Ulangan.
1.2.6
Periode VI (Antara tahun 722—587 S.M.): Kerajaan Yehuda
sesudah Kerajaan Israel runtuh.
Kerajaan Yehuda masih berlangsung sesudah kerajaan Israel
jatuh pada taun 722 S.M. Kerajaan Yehuda atau Yuda masih tetap
berdiri kokoh sampai akhirnya mereka dibuang ke Babilon pada tahun 587 S.M. Pada masa ini
beberapa tradisi tertulis tentang kisah bapa-bapa bangsa mulai disatukan. Demikian juga,
pewartaan para nabi mulai
ditulis dan sebagian diteruskan dalam bentuk lisan. Pada masa ini juga muncul tulisan
tentang sejarah bangsa Israel, beberapa bagian dari Mazmur, dan Amsal.
1.2.7
Periode VII (Antara tahun 586 - 539
S.M.): Zaman
pembuangan Babilon.
Orang-orang Israel yang berasal dari Kerajaan Yuda
hidup di pembuangan Babilon
atau Babel selama kurang lebih 50 tahun. Pada masa ini, penulisan Kitab Sejarah
dilanjutkan. Muncul pula tulisan yang kemudian kita kenal dengan kitab Ratapan. Demikian pula halnya dengan nabi-nabi, pewartaan para nabi sebelum pembuangan
ditulis pada masa ini. Pada periode
ini juga muncul para imam yang menuliskan hukum-hukum yang sekarang masuk dalam kitab Imamat.
1.2.8
Periode VIII (Antara tahun 538 - 200 S.M): Zaman sesudah
Pembuangan
Sesudah lima puluh tahun dalam
pembuangan di Babel, raja Persia[1],
yaitu Koresy (Sirus), pada tahun 538 S.M. mengijinkan umat Israel kembali ke
tanah airnya dan membangun Bait Allh di Yerusalem.[2]
Pada
masa ini kelima kitab Taurat telah diselesaikan. Juga kitab-kitab Sejarah Yosua,
Hakim-hakim, 1-2 Samuel, dan
Raja-raja sudah selesai ditulis. Kitab-kitab para nabi pun sudah banyak yang diselesaikan
Dari ratusan nyanyian, akhirnya dipilih 150 mazmur yang kita terima sampai sekarang. Pada
masa ini muncul pula beberapa
tulisan Kebijaksanaan.
Sejarah kembalinya bangsa Israel dari
Pembuangan adalah Inti Kitab Ezra-Nehemia
1.2.9 Periode IX (Dua abad terakhir
/ Antara Tahun 200 S.M. – 1 M):
Pada masa ini ditulislah kitab-kitab seperti:
Daniel, Ester, Yudith, Tobit, 1, 2 Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo.
1.3 Kanon Kitab Suci dan
Deuterokanonika
Seperti sudah diuraikan di atas
bahwa ada suatu patokan dalam menentukan pengakuan resmi terhadap suatu Kitab
Suci yang disebut dengan istilah kanon. Kitab-kitab yang terdapat dalam kanon
disebut kitab-kitab kanonik. Kitab-kitab yang diakui sebagai kanonik tersebut
diakui resmi sebagai Kitab Suci dan dijadikan patokan atau norma iman mereka
Kitab-kitab Perjanjian Lama pada
awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew), tetapi setelah orang-orang
Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat,
mereka kehilangan bahasa aslinya, banyak keturunan mereka tidak lagi bisa
menggunakan bahasa Ibrani, dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek)
yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu banyak diantara mereka membutuhkan terjemahan seluruh
Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Kebetulan pada waktu itu di
Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama
pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari
seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72
ahli-kitab Yahudi (mereka adalah wakil dari ke 12 suku bangsa Israel, dan tiap suku diwakili 6 orang).
Terjemahan ini diselesaikan
sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang
berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer
dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) bagi kaum Yahudi yang
terusir, yang tinggal di Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu bahasa Ibrani nyaris mati dan orang-orang Yahudi di
Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. (Jadi hampir bisa dipastikan
Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru menggunakan Perjanjian
Lama terjemahan Septuagint. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang
ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap
diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani).
Setelah Yesus disalibkan dan wafat,
para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada
sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia,
Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap Gereja. Dalam konsili Jamnia ini mereka
menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka :
1. Ditulis
dalam bahasa Ibrani;
2. Sesuai
dengan Kitab Taurat;
3. Lebih tua
dari zaman Ezra (sekitar 400 SM);
4. Ditulis di
Palestina.
Atas kriteria-kriteria di atas
mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria,
yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit,
Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut
tambahantambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia
dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan semata-mata
atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab
yang ditolak di atas.
Gereja tidak mengakui konsili
rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di
Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik
secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi
Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima
secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh
konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja (diantaranya: St. Polycarpus, St.
Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus ) sebagai kitab-kitab yang setara
dengan kitabkitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Tujuh kitab berikut dua
tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja sebagai
Deuterokanonika (=termasuk kanon kedua) yang artinya kira-kira: “disertakan
setelah banyak diperdebatkan”.
2. PROSES PENYUSUNAN KITAB SUCI PERJANJIAN BARU
1.1 Pengantar
Ke
27 Kitab dalam Perjanjian Baru, tentu saja tidak langsung jadi, tetapi elalui proses yang kurang lebih 100 tahun.
Ketika Yesus masih hidup, tidak seorangpun di antara murid-murid-Nya yang terpikir
untuk mencatat tentang apa yang Ia lakukan atau Ia katakan, atau segala sesuatu
tentang kehidupan-Nya. Mereka hanya ingin menjadi murid Yesus yang mengikuti
Yesus ke manapun Ia pergi, mereka tinggal bersama Yesus, mereka belajar
mendengarkan ajaran-Nya, dan menyaksikan tindakan Yesus.
Baru
sesudah Yesus dibangkitkan, mereka mulai merasakan arti kehadiran Yesus bagi
hidup mereka, dan bagi banyak orang yang selama ini mengikuti Yesus percaya
kepada-Nya. Sesudah Yesus bangkit, para murid mulai sadar, bahwa Ia yang selama
ini diikuti adalah sosok yang menjadi kegenapan
janji Allah, sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Peristiwa Pentakosta seolah
membakar hati mereka untuk mulai berani bercerita kepada banyak orang tentang
siapa Yesus sesungguhnya. Berkat Pentakosta, mereka mulai keluar dari
persembunyian, dan pergi ke berbagai tempat menceritakan secara lisan tentang
ajaran, karya (mukjizat-mukjizat), serta hidup Yesus.
Dari
situ terbentuklah semakin banyak kelompok orang yang percaya kepada Yesus di
berbagai kota, tapi sampai ke wilayah di luar Palestina. Karena orang-orang
yang percaya kepada Yesus itu tersebar di berbagai kota, dan tidak selamanya
para rasul bisa hadir di tengah mereka, maka kadang-kadang komunikasi dilakukan
melalui surat. Surat itu bisa berisi wejangan untuk menyelesaikan masalah atau
pengajaran atau cerita-cerita tentang kehidupan Yesus.
Baru
sesudah para murid meninggal dan umat yang percaya kepada Yesus Kristus semakin
banyak, muncullah kebutuhan akan tulisan baik mengenai hidup Yesus, karya-Nya,
sabda-Nya maupun akhir hidup-Nya. Berkat bimbingan Roh Kudus, mereka menuliskan
kisah tentang Yesus berdasarkan cerita-cerita dari para saksi mata, para
pengikut-Nya yang sudah beredar dan berkembang luas di tengah-tengah (bacalah
Lukas 1:1-4). Tentu tulisantulisan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan, iman
dan maksud serta tujuan penulis serta situasi jemaat yang dituju oleh tulisan
itu.
Oleh
sebab itu, kita tidak perlu heran jika tulisan-tulisan dari para penulis
tentang Yesus tersebut terdapat perbedaan. Sebab, mereka bukan menulis suatu
laporan atau sejarah tentang Yesus melainkan melalui tulisan itu mereka mau
mewartakan iman mereka (dan iman jemaat) akan Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan
Juru Selamat.
Untuk memahami lebih
dalam tentang proses tersusunnya tulisan-tulisan mengenai Yesus Kristus, kita harus mulai dari periode hidup Yesus
sampai pembentukan kanon Perjanjian Baru.
2.2 Sejarah Penyusunan Kitab Suci Perjanjian Baru
2.2.1 Antara
tahun 7/6 sebelum Masehi (SM) - 30 sesudah Masehi (M)
a). Yesus lahir sekitar tahun 7/6 SM*, dibesarkan di
desa Nazaret wilayah Galilea. Ia seorang Yahudi yang saleh yang menaati hukum
dengan penuh semangat (bandingkan Matius 5:17). Sekitar tahun 27/28 Masehi
Yesus dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Kemudian la berkarya
sebentar seperti Yohanes Pembaptis, yaitu bersama dengan murid-murid-Nya
membaptis (bandingkan Yohanes 3:22-26), tetapi kemudian Ia berkeliling di
seluruh Galilea dan Yudea untuk mewartakan Kerajaan Allah. Ketika Yesus lahir dan
tampil di depan umum, Palestina berada di bawah kekuasaan Roma dipimpin oleh
Agustus dan di Palestina dipimpin oleh Herodes Agung.
b). Dalam situasi seperti itu ada suasana kebencian
di kalangan orang Yahudi terhadap penjajah Roma. Sementara itu dalam kehidupan
Umat Yahudi sejak lama tumbuh keyakinan bahwa Allah mereka adalah Allah yang
setia dan selalu terlibat dalam seluruh kehidupan umat-Nya. Dalam kondisi
dijajah oleh bangsa lain mereka menaruh harapan pada Allah yang akan
membebaskan mereka dari derita dan penjajahan. Campur tangan Allah itu diyakini
akan dilaksanakan melalui seorang tokoh yang disebut Mesias. Mesias digambarkan
sebagai utusan Allah, seorang pahlawan yang akan membebaskan Israel dari
penjajah dan antek-anteknya. Maka timbullah berbagai gerakan mesianisme. Salah
satu gerakan mesianisme bercorak keagamaan adalah seperti yang dirintis
Yohanes. Yohanes mewartakan bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya, bilamana
bangsa Israel bertobat sebagaimana dituntut oleh para nabi (Matius 3:1-12).
Yohanes juga memberitakan tentang Yesus sebagai utusan Allah yang akan membawa
pembebasan bagi mereka. Seruan pertobatan Yohanes ditanggapi bangsa Israel.
Mereka memberi diri dibaptis oleh Yohanes sebagai tanda pertobatan. Yesus pun
mengikuti mereka sebagai tanda solidaritas dengan mereka.
c). Setelah dibaptis oleh Yohanes, Yesus meneruskan
pesan yang sudah diserukan oleh Yohanes. Tetapi gambaran Yohanes tentang diri
Yesus sebagai Mesias berbeda dengan yang dipahami Yesus sendiri. Yohanes
menggambarkan bahwa campur tangan Allah akan terlaksana secara mengerikan,
sedangkan Yesus menyatakan campur tangan Allah sebagai kabar baik sebagaimana
dinyatakan oleh para nabi (bandingkan Yesaya 40:11; 52:7-10), yakni hidup,
sabda dan karyaNya.
d). Dalam mewartakan misinya sebagai Mesias, Yesus
kerap mengajar dengan menggunakan perumpamaan
agar mudah ditangkap
oleh orang-orang sederhana. Namun demikian semua disampaikan dengan
kewibawaan Ilahi. Itulah sebabnya Yesus selalu bersabda: “Aku berkata
kepada-mu... (Markus 1:27). Yesus juga tampil dengan gaya dan cara hidup yang
berbeda dengan orang lain. Kerap kali Ia “melanggar” kaidah-kaidah umum yang
berlaku, misalnya: menyembuhkan orang pada hari Sabat, bergaul dengan
orang-orang berdosa, makan bersama atau mengadakan perjamuan dengan orang-orang
yang oleh masyarakat dicap sebagai sampah masyarakat (pendosa), Yesus banyak
melakukan mukjizat, mengampuni dosa atau membangkitkan orang mati (yang menurut pandangan banyak orang hal itu hanya bisa
dilakukan oleh Allah). Sebagian orang yang melihat tindakan Yesus semakin
mengagumi Dia, dan semakin membuat orang bertanya-tanya siapa sebenarnya Dia
ini? (bandingkan Markus 8:27-30 dan Injil lain). Tetapi hal yang sama membuat
kebencian Kaum Farisi, khususnya para Imam dan ahli Taurat. Yesus dianggap oleh
mereka menghojat Allah. Kendati demikian, Yesus tidak takut dan tetap
mewartakan kedatangan Kerajaan Allah dan mengajak setiap orang yang
mendengar-Nya bertobat dan percaya kepada Injil.
e). Kebencian para pemimpin agama dan kaum Farisi tampak
dalam tindakan mereka yang selalu menguji Yesus untuk mencari kesalahan-Nya.
Bahkkan diceritakan, bahwa beberapa kali mereka bersekongkol untuk membunuh
Yesus, tetapi Yesus berhasil menyingkir, meloloskan diri (Matius 12:14). Hingga
pada akhirnya, mereka menggunakan kesempatan perayaan Paska untuk menangkap
Yesus. Yesus ditangkap kemudian diadili oleh pengadilan Agama (Sanhedrin) di
sini Yesus diputuskan untuk dihukum mati. Maka mereka membawa Yesus kepada
penguasa Romawi (Ponsius Pilatus) untuk mengizinkan menghukum mati Yesus. Atas
desakan orang banyak, akhirnya Ponsius Pilatus menjatuhkan hukuman mati di kayu
salib. Kemungkinan besar hal itu terjadi sekitar tanggal 7 April tahun 30 M.
f). Sejak penangkapan Yesus di Taman Getsemani,
murid-murid yang selama ini selalu bersama-sama dengan Dia sangat ketakutan.
Petrus menyangkal, para murid
yang lain entah
ke mana. Yesus
harus menghadapi pengadilan sendirian bahkan berjalan salib tanpa
mereka. Sampai akhirnya Yesus wafat di Salib. Sesaat seolah-olah apapun tentang
Yesus lenyap ditelan bumi. Para murid bersembunyi di rumah-rumah, tidak berani
tampil di muka umum. Titik balik mulai muncul, ketika tiga hari kemudian mereka
mendapati Yesus bangkit. Tidak ada laporan dan kesaksian yang utuh tentang kebangkitan
Yesus. Mereka hanya menceritakan tentang makam Yesus yang kosong, dengan hanya
menyisakan kain kafan, serta malaikat yang memberitakan kabangkitan Yesus.
Beberapa waktu kemudian, mengalami beberapa kali penampakan Yesus. Mereka
mengalami seolah Yesus yang hadir dalam wujud mulia.
g). Kebangkitan Yesus itu memperkokoh iman mereka.
Mereka menjadi semakin percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias, Putera
Allah, Tuhan dan Penyelamat. Mereka semakin yakin akan segala sesuatu yang
telah diwartakan Perjanjian Lama tentang Mesias, dan hal itu dilihat sebagai
terlaksana dalam diri Yesus. Keyakinan baru ini dirasakan mereka sebagai datang
dari Allah sendiri, bukan hasil olah pikir mereka. Lebih-lebih berkat Pentakosta keyakinan dan
keberanian itu semakin menguatkan mereka untuk memberi kesaksian kepada semua
orang.
2.2.2 Antara
Tahun 40 - 120 Masehi: penyusunan dan penulisan Kitab Suci Perjanjian Baru.
a). Karangan tertua dari Kitab Suci Perjanjian Baru
adalah 1 Tesalonika (ditulis sekitar tahun 40 an) sedangkan yang paling akhir
adalah 2 Petrus (tahun 120-an)
b). Yesus pasti tidak menulis apapun yang berkaitan
dengan karya dan sabda-sabda-Nya, tidak juga menyuruh para murid-Nya untuk
menuliskannya, meskipun Ia bisa membaca dan menulis (lihat Lukas 4:17-19 dan
Yohanes 8:6). Ia hanya berkeliling mengajar dan berbuat baik (menyembuhkan,
mengusir setan dan sebagainya) di dalam pengajaran-Nya Yesus kerapkali
menggunakan Kitab Suci, tetapi Kitab Suci yang la gunakan adalah Kitab Suci
Perjanjian Lama. Namun karena sabda-Nya dan hidup-Nya serta karya-Nya begitu
mengesankan dan berwibawa maka banyak orang tertarik dan mengikuti Yesus.
Lebih-lebih setelah kebangkitan, di mana Yesus diakui dengan berbagai macam
gelar (Kristus, Tuhan, Juru Selamat dan sebagainya), maka para pengikutnya
mulai meneruskan apa yang telah dimulai oleh Yesus. Mereka berkeliling tidak
hanya di Palestina tetapi sampai di luar Palestina, untuk mewartakan karya
keselamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus.
c). Mula-mula para murid mulai mewartakan Yesus
secara lisan. Inti pe-wartaan pada mulanya adalah wafat dan kebangkitan-Nya
(bdk. Kisah Para Rasul: Khotbah Petrus pada hari Pentakosta, Kisah Para Rasul
2). Kemudian pewartaan itu berkembang dengan mewartakan juga hidup, karya dan sabda-Nya
dan yang terakhir adalah masa muda-Nya atau masa kanak-kanak-Nya. Semua
diwartakan dalam terang kebangkitan, karena kebangkitan Kristus merupakan dasar
dari iman kepada Yesus Kristus.
d). Setelah komunitas jemaat berkembang di berbagai
kota maka seringkali para Rasul berhubungan dengan komunitas tersebut melalui
utusan dan surat-surat (Kisah Para Rasul 15:2. 20-23). Itulah sebabnya karangan
yang tertua dan tertulis adalah dalam bentuk surat (lihat poin 1).
e). Karena banyak komunitas yang perlu untuk terus
dibina, sementara para saksi mata jumlahnya terbatas, maka mulailah juga
ditulis beberapa pokok iman yang penting, seperti kisah kebangkitan, sengsara,
sabda-sabda Yesus dan karya Yesus dengan maksud untuk membina mereka.
f). Setelah
generasi pertama mulai menghilang, maka dibutuhkan tulisan-tulisan tentang
Yesus yang dapat
dipertanggungjawabkan. Maka
muncullah karangan-karangan yang masih berupa fragmen-fragmen: kisah sengsara,
mukjizat--mukjizat,
kumpulan sabda, kumpulan perumpamaan, dan sebagainya. Dari
situ akhirnya disusunlah injil-injil dan kisah para rasul, sampai akhirnya
seperti yang kita miliki sekarang ini. Injil itu disusun berdasar atas tradisi,
baik lisan maupun tertulis dan yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan
penulis serta situasi jemaat.
2.2.3 Antara
tahun 120 - 400 Masehi: pembentukan kanon (Daftar resmi KS Perjanjian Baru).
a) Pada awal
abad kedua sampai akhir abad kedua muncul begitu banyak tulisan tentang Yesus,
yang membingungkan umat beriman. Dalam situasi seperti itu umat mulai mencari
kepastian, manakah Kitab-Kitab yang membina iman sejati.
b)
Untuk mengatasi hal tersebut pada akhir abad
kedua mulai tahun 200, beberapa
tokoh penting mulai menyaring karangan-karangan yang ada. Mereka menyusun daftar
karangan yang berwibawa dan layak disebut Kitab Suci. Sementara karangan-karangan yang
menyeleweng dari iman sejati ditolak. Salah satu daftar yang terkenal pada saat
itu adalah kanon Muratori.
c)
Sekitar tahun 254,
Origines, memberikan daftar kisah yang umum diterima dan daftar Kitab-Kitab yang harus
ditolak. Juga Eusebius pada tahun 303 menyajikan Kitab yang umum diterima dan
sejumlah karangan yang
mesti ditolak. Pada tahun 300 secara umum yang sudah diterima sebagai Kitab Suci adalah:
4 injil seperti sekarang; 13 surat Paulus, Kisah Para Rasul, 1 Petrus, 1 Yohanes dan Wahyu
d) Pada tahun 400, barulah
perbedaan pendapat dalam hal jumlah Kitab Suci
hampir hilang seluruhnya. Pada tahun 367 Batrik Aleksandria yang bernama Atanasius menyusun daftar Kitab Suci yang
termasuk Perjanjian Baru. Jumlahnya
27 seperti yang kita miliki sekarang. Demikian juga Konsili Hippo (393) dan Karthago (397) menetapkan
daftar yang sama.
3. BEBERAPA CATATAN
PENTING TERKAIT SEJARAH TERBENTUKNYA KITAB SUCI
3.1 Kitab Suci Perjanjian Lama
Sepanjang masa Allah
senantiasa mewahyukan Diri. Pewahyuan Diri Allah pada dasarnya tertuju kepada semua
manusia dari segala bangsa. Pewahyuan Diri Allah yang universal itu, ditanggapi dengan
berbagai macam cara dan sikap. Dari sekian
banyak bangsa manusia, ada satu kelompok bangsa yang menanggapi pewahyuan Diri
Allah itu secara khas, yaitu bangsa Israel, yang sekaligus dipakai Allah
untuk menjadi sarana dalam menyampaikan
rencana penyelamatan-Nya, sebagaimana terungkap
dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama.
Mengingat isi Perjanjian
Lama yang sangat penting itu, maka membaca dan mendalami Kitab Perjanjian Lama
merupakan keharusan. Mengapa demikian:
Pertama, dengan mempelajari
Perjanjian Lama, kita akan melihat bagaimana
Allah secara terus-menerus dan dengan setia menyatakan Diri-Nya untuk dikenal; dan bagaimana bangsa Israel
menanggapipewahyuan Allah itu. Hubungan timbal-balik antara Allah dengan bangsa Israel tersebut dapat menjadi cermin bagi
manusia yang hidup zaman sekarang
dalam membangun relasi yang lebih baik dengan Allah.
Kedua, Kitab Suci Perjanjian
Lama bukan buku yang pertama-tama hendak menguraikan fakta-fakta sejarah,
melainkan dan terutama hendak
mengungkapkan Allah yang berfirman, yang menyampaikan rencana dan tindakan penyelamatan kepada
manusia. Perjanjian Lama adalah Firman Allah.
Karena Firman Allah, maka manusia diminta untuk mau mendengarkan dan menjalankan apa yang difirmankan-Nya.
Ketiga, beberapa bagian kitab Perjanjian Lama berisi
nubuatnubuat
tentang Juru Selamat yang dijanjikan Allah, yang digenapi dalam diri Yesus Kristus. Oleh
karena itu, pemahaman diri Yesus Kristus sebagai penggenapan janji Allah dapat
sepenuhnya dipahami bila kita mempelajari Perjanjian Lama.
Keempat, Yesus sendiri sebagai
orang Yahudi mendasarkan pengajaran-Nya dari Kitab Perjanjian Lama. Ia tidak
meniadakan Perjanjian Lama,
melainkan meneguhkan dan sekaligus memperbaharuinya.
3.2 Kitab Suci Perjanjian Baru
Para penulis Kitab Suci
berkat ilham Roh Kudus, menuliskan kesaksian imannya dalam Kitab Suci untuk semua orang
yang beriman. Ia tidak menyusun
buku untuk pajangan atau hiasan. Dengan kata lain, Kitab Suci Perjanjian Baru
menjadi benar-benar kitab yang bermakna dan kitab yang hidup bila dibaca dan
direnungkan, serta nilai-nilainya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Konstitusi Dogmatik tentang
Wahyu Ilahi menegaskan bahwa: Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis
di bawah bimbingan Roh Kudus; Allah adalah pengarang yang benar dan “harus diakui bahwa Alkitab
mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran,
yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam Kitab-Kitab Suci demi keselamatan kita” (DV art. 11). Untuk itu
menjadi norma
bagi iman dan ajaran Kristiani, serta sebagai sabda Allah yang merupakan sumber yang
kaya bagi doa pribadi.
Ada beberapa alasan
perlunya kita membaca dan mendalami sabda Tuhan yang terdapat dalam Kitab Suci
tersebut.
Pertama, iman kita akan tumbuh
dan berkembang dengan membaca Kitab Suci. Santo Paulus dalam suratnya kepada
Timotius menegaskan, “segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah
memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk
memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16-17).
Kedua, kita tidak akan mengenal
Kristus jika kita tidak membaca Kitab Suci. St. Hironimus mengatakan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak
mengenal Kristus”. Kutipan inilah yang akhirnya juga dikutip kembali oleh
Konsili Vatikan II dalam dokumen Dei Verbum. Kutipan itu hendak menegaskan
bahwa sarana utama untuk dapat mengenal Kristus adalah Kitab Suci.
Ketiga,
Kitab
Suci adalah buku Gereja, buku iman Gereja. Kitab Suci adalah sabda Allah dalam
bahasa manusia, Gereja menerimanya
sebagai yang suci dan ilahi karena di dalamnya mengandung sabda Allah.
Dan sebab itu, Kitab Suci (Alkitab) bersama Tradisi menjadi tolok ukur
tertinggi bagaimana kita mengenal iman Gereja. Untuk itu, Gereja menghendaki
agar kita semua semakin membaca dan mendalami Kitab Suci, seperti ditegaskan
oleh bapa-bapa Konsili: “Konsili mendesak
dengan sangat semua orang beriman supaya seringkali membaca Kitab-Kitab Ilahi
untuk memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (DV art. 25).
Pun pula, melalui Kitab Suci ini, kita juga dapat semakin mendekatkan diri dengan saudara-saudara kita dari
Gereja-gereja Kristen lain.
Karena
Kitab Suci adalah Sabda Allah , maka untuk dapat menangkap isi pesannya hanya
mungkin dibaca dan direnungkan dengan iman kepercayaan, dan bahwa dalam Kitab
Suci itu Allah sungguh hadir dan bersabda. Kita juga perlu membaca Kitab Suci
dengan doa dengan berharap bahwa apapun yang difirmankan Allah mampu kita
terima, entah itu nasehat, teguran, atau peneguhan untuk hidup iman kita. Kita
perlu membaca Kitab Suci disertai dengan kesediaan untuk bertobat, membiarkan
hidup kita siap diperbaharui, diubah dari dalam sampai keakar-akarnya, sehingga dalam kehidupan
selanjutnya kita menjalani hidup baru dan meninggalkan dosa. Dan yang paling
penting adalah kemauan mewujudkan firman Allah dalam kehidupan sehari-hari. “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman
dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri
sendiri” (Yakobus 1:22)
Memang
untuk mencapai hasil maksimal dari manfaat membaca Kitab Suci tidak bisa diraih
dengan mudah. Kita membutuhkan ketekunan yang terus menerus, sampai menjadi
kebiasaan dan kebutuhan. Andaikan setiap orang selalu merasa haus untuk selalu
menimba kekuatan dari firman-Nya, betapa indah hidup ini.
SUMBER REFERENSI
Sumber Utama
Alkitab. Terjemahan ini diterima dan diakui oleh Konferensi
Waligereja Indonesia. Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 2005.
Sutarman,
Maman dan Sulis Bayu Setyawan. Pendidikan
Agama Katolik dan Budi Pekerti; Untuk SMA/SMK Kelas X (Buku Guru). Jakarta
: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Sumber Pendukung
Carson,
Thomas dan Joann Cerrito (ed.), The New
Catholic Encyclopedia, Second Edition. Catholic University of America.
Dianne Bergant –
Robert J. Karris (ed.). Tafsir Alkitab
Perjanjian Lama (Judul asli: The
Collegeville Bible Commentary). Diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata –
Lembaga Biblika Indonesia .
Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Groenen,
C. Pengantar Kitab Suci Perjanjian Baru.
Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama.
Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Hinson, David F.
Sejarah Israel pada Zaman Alkitab (Judul
asli: History of Israel).
Diterjemahkan oleh Mawene. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2004.
Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan
oleh Herman Embuiru. Ende:
Arnoldus, 1995.
Komisi
Kateketik KWI . Pendidikan Agama Katolik
untuk SMA/K Kelas X. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Konferensi
Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta:
Kanisius, 1995.
Suharyo,
I, Pengantar Injil Sinoptik, Yogyakarta:
Kanisius, 1989.
*
Disusun oleh Antonius Ngadikir sebagai Bahan/Materi Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti
Kelas X (Semester Ganjil) SMA Xaverius Lubuklinggau.
[2] Raja Persia ini
mengijinkan umat Israel kembali ke tanah airnya setelah sebelumnya ia berhasil
menguasai/mengalahan Kerajaan Babilon. Kendati diijinkan kembali ke tanah
airnya (negeri Palestina), namun tidak semua yang berada di negeri Babel ingin
kembali ke Palestina. Hanya sebagian dari mereka yang secara
berangsur-angsur kembali ke tanah airnya di negeri Palestina.