Thursday, November 23, 2017

Proses Penyusunan Kitab Suci

PROSES PENYUSUNAN KITAB SUCI*

1. PROSES PENYUSUNAN KITAB SUCI PERJANJIAN LAMA
1.1 Pengantar           
              Kitab -kitab yang termasuk dalam Kitab Suci Perjanjian Lama berjumlah 46 (empat puluh enam). Tentu saja kitab-kitab itu tidak ditulis dalam waktu bersamaan, melainkan melalui suatu proses panjang. Berikut ini garis besar proses tersusunnya Kitab Suci Perjanjian Lama.
              Secara garis besar Kitab Suci Perjanjian Lama memuat dua bagian besar, yakni Kitab Prasejarah dan Kitab Sejarah. Kitab Prasejarah, mulai dari Kisah Penciptaan sampai dengan Menara Babel (Kejadian 1-11), sedangkan Kitab Sejarah Israel mulai dari Abraham yang hidup sekitar tahun 2000/1800 sebelum Masehi sampai menjelang Yesus Kristus. Namun, sejarah yang ditulis dalam Perjanjian Lama lebih merupakan sejarah iman. Maka, untuk mengetahui proses terjadinya Kitab Suci Perjanjian Lama, sebaiknya dimulai dengan awal sejarah Israel yaitu sekitar tahun 1800 sebelum Masehi. Oleh sebab itu, untuk mengetahui proses tersusunnya Kitab Suci Perjanjian Lama,  proses akan dimulai pada saat awal sejarah Israel, yaitu sekitar tahun 1800 SM.

1.2 Periodisasi Sejarah Bangsa Israel sebagai Bingkai Penyusunan Kitab Suci Perjanjian Lama
1.2.1 Periode I (Antara tahun 1800 - 1600 S.M.): Zaman Bapa-bapa bangsa (Abraham-Ishak-Yakub).
              Periode ini adalah awal sejarah bangsa Israel yang dimulai dari panggilan Abraham sampai dengan kisah tentang Yakub. Dalam tahun inilah Bapa-bapa bangsa hidup. Sebagian kisah mereka tersimpan dalam Kej 12 - 50. Kisah ini kemudian diteruskan secara lisan turun temurun.

1.2.2 Periode II (Antara tahun 1600 - 1225 S.M.): Pengungsian bangsa Israel ke Mesir sampai dengan Perjanjian Sinai
              Periode ini adalah periode kisah bangsa Israel mengungsi ke Mesir, perbudakan di Mesir, pembebasan dari Mesir sampai Perjanjian di Sinai. Kisah-kisah tersebut juga masih disampaikan secara lisan. Mungkin sekali 10 perintah Allah (Dekalog) dalam rumusan yang pendek sudah ditulis pada masa ini sebagai pedoman hidup.
Ini adalah inti Kitab Keluaran

1.2.3 Periode III (Antara tahun 1225 - 1030 S.M.): Perebutan tanah Kanaan dan zaman Hakim-Hakim.
              Pada periode ini, bangsa Israel merebut tanah Kanaan yang diyakini sebagai Tanah Terjanji di bawah pimpinan Yosua dan kehidupan bangsa Israel di tanah yang baru di bawah para tokoh  yang diberi gelar Hakim. Hakim-hakim itu antara lain adalah Debora,  Simson, dan sebagainya. Di samping cerita pada masa ini, juga sudah terdapat beberapa hukum.
Ini adalah inti Kitab Yosua

1.2.4 Periode IV (Antara tahun 1030 - 930 S.M.): Periode Raja-Raja.
              Pada periode ini, bangsa Israel memasuki tahap baru dalam kehidupannya. Mereka mulai menganut sistem kerajaan yang diawali dengan raja Saul, kemudian  digantikan oleh raja Daud dan diteruskan oleh raja Salomo, putra Daud. Pada masa inilah bangsa Israel menjadi cukup terkenal dan disegani  oleh bangsa-bangsa lain. Pada zaman raja Saul, Daud, dan Salomo,  bagian-bagian Kitab Suci Perjanjian Lama mulai ditulis. Misalnya, Kisah  Penciptaan Manusia, Manusia jatuh dalam dosa dan akibatnya, Bapa-bapa Bangsa, Kisah Para Raja, beberapa bagian Mazmur, dan hukum-hukum.
Kehidupan raja-raja inilah yang menjadi Inti Kita Raja-raja
1.2.5 Periode V (Antara tahun 930 - 722 S.M.): Kerajaan Israel dan Yahuda.
Sesudah raja Salomo wafat, kerajaan Israel terpecah menjadi dua, yaitu kerajaan Utara (Israel) dan kerajaan Selatan (Yuda). Kerajaan Utara hanya berlangsung sampai tahun 722 S.M. Pada periode ini dilanjutkan dengan penulisan Kitab-kitab Suci Perjanjian Lama yang melengkapi cerita-cerita Kitab Taurat Musa serta beberapa tambahan hukum. Di samping itu, pada periode ini mulai muncul pewartaan para nabi dan kisah para nabi seperti Elia dan Elisa, Hosea, Amos. Beberapa bagian pewartaan para nabi mulai ditulis. Pada masa ini, beberapa kumpulan hukum perjanjian mulai diterapkan dan ditulis. Kita dapat membacanya dalam kitab Ulangan.

1.2.6 Periode VI (Antara tahun 722—587 S.M.): Kerajaan Yehuda sesudah Kerajaan Israel runtuh.
            Kerajaan Yehuda masih berlangsung sesudah kerajaan Israel jatuh pada taun 722 S.M. Kerajaan Yehuda atau Yuda masih tetap berdiri kokoh sampai akhirnya mereka dibuang ke Babilon pada tahun 587 S.M. Pada masa ini beberapa tradisi tertulis tentang kisah bapa-bapa bangsa mulai disatukan. Demikian juga, pewartaan para nabi mulai ditulis dan sebagian diteruskan dalam bentuk lisan. Pada masa ini juga muncul tulisan tentang sejarah bangsa Israel, beberapa bagian dari Mazmur, dan Amsal.

1.2.7 Periode VII (Antara tahun 586 - 539 S.M.): Zaman pembuangan Babilon.
              Orang-orang Israel yang berasal dari Kerajaan Yuda hidup di pembuangan Babilon atau Babel selama kurang lebih 50 tahun. Pada masa ini, penulisan Kitab Sejarah dilanjutkan. Muncul pula tulisan yang kemudian kita kenal dengan kitab Ratapan. Demikian pula halnya dengan nabi-nabi, pewartaan para nabi sebelum pembuangan ditulis pada masa ini. Pada periode ini juga muncul para imam yang menuliskan hukum-hukum yang sekarang masuk dalam kitab Imamat.

1.2.8 Periode VIII (Antara tahun 538 - 200 S.M): Zaman sesudah Pembuangan
              Sesudah lima puluh tahun dalam pembuangan di Babel, raja Persia[1], yaitu Koresy (Sirus), pada tahun 538 S.M. mengijinkan umat Israel kembali ke tanah airnya dan membangun Bait Allh di Yerusalem.[2] Pada masa ini kelima kitab Taurat telah diselesaikan. Juga kitab-kitab Sejarah Yosua, Hakim-hakim, 1-2 Samuel, dan Raja-raja sudah selesai ditulis. Kitab-kitab para nabi pun sudah banyak yang diselesaikan Dari ratusan nyanyian, akhirnya dipilih 150 mazmur yang kita terima sampai sekarang. Pada masa ini muncul pula beberapa tulisan Kebijaksanaan.
Sejarah kembalinya bangsa Israel dari Pembuangan adalah Inti Kitab Ezra-Nehemia
1.2.9 Periode IX (Dua abad terakhir / Antara Tahun 200 S.M. – 1 M):
              Pada masa ini ditulislah kitab-kitab seperti: Daniel, Ester, Yudith, Tobit, 1, 2 Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan Salomo.

1.3 Kanon Kitab Suci dan Deuterokanonika
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa ada suatu patokan dalam menentukan pengakuan resmi terhadap suatu Kitab Suci yang disebut dengan istilah kanon. Kitab-kitab yang terdapat dalam kanon disebut kitab-kitab kanonik. Kitab-kitab yang diakui sebagai kanonik tersebut diakui resmi sebagai Kitab Suci dan dijadikan patokan atau norma iman mereka
            Kitab-kitab Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew), tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka kehilangan bahasa aslinya, banyak keturunan mereka tidak lagi bisa menggunakan bahasa Ibrani, dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani (Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena itu banyak diantara mereka membutuhkan terjemahan seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Kebetulan pada waktu itu di Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani. Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi (mereka adalah wakil dari ke 12 suku bangsa Israel, dan tiap suku diwakili 6 orang).
Terjemahan ini diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuagint, yaitu dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah. Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon Alexandria) bagi kaum Yahudi yang terusir, yang tinggal di Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu bahasa Ibrani nyaris mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa Aram. (Jadi hampir bisa dipastikan Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian Baru menggunakan Perjanjian Lama terjemahan Septuagint. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani).
            Setelah Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai reaksi terhadap Gereja. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan empat kriteria untuk menentukan kanon Kitab Suci mereka :
1. Ditulis dalam bahasa Ibrani;
2. Sesuai dengan Kitab Taurat;
3. Lebih tua dari zaman Ezra (sekitar 400 SM);
4. Ditulis di Palestina.
            Atas kriteria-kriteria di atas mereka mengeluarkan kanon baru untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahantambahan dari kitab Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6 dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan semata-mata atas alasan bahwa mereka tidak dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak di atas.
            Gereja tidak mengakui konsili rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja Katolik secara resmi menetapkan 46 kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja (diantaranya: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St. Cyprianus ) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitabkitab lainnya dalam Perjanjian Lama. Tujuh kitab berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja sebagai Deuterokanonika (=termasuk kanon kedua) yang artinya kira-kira: “disertakan setelah banyak diperdebatkan”.
  

2. PROSES PENYUSUNAN KITAB SUCI PERJANJIAN BARU
1.1 Pengantar
              Ke 27 Kitab dalam Perjanjian Baru, tentu saja tidak langsung jadi, tetapi  elalui proses yang kurang lebih 100 tahun. Ketika Yesus masih hidup, tidak seorangpun di antara murid-murid-Nya yang terpikir untuk mencatat tentang apa yang Ia lakukan atau Ia katakan, atau segala sesuatu tentang kehidupan-Nya. Mereka hanya ingin menjadi murid Yesus yang mengikuti Yesus ke manapun Ia pergi, mereka tinggal bersama Yesus, mereka belajar mendengarkan ajaran-Nya, dan menyaksikan tindakan Yesus.
              Baru sesudah Yesus dibangkitkan, mereka mulai merasakan arti kehadiran Yesus bagi hidup mereka, dan bagi banyak orang yang selama ini mengikuti Yesus percaya kepada-Nya. Sesudah Yesus bangkit, para murid mulai sadar, bahwa Ia yang selama ini diikuti adalah sosok yang menjadi kegenapan  janji Allah, sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Peristiwa Pentakosta seolah membakar hati mereka untuk mulai berani bercerita kepada banyak orang tentang siapa Yesus sesungguhnya. Berkat Pentakosta, mereka mulai keluar dari persembunyian, dan pergi ke berbagai tempat menceritakan secara lisan tentang ajaran, karya (mukjizat-mukjizat), serta hidup Yesus.
              Dari situ terbentuklah semakin banyak kelompok orang yang percaya kepada Yesus di berbagai kota, tapi sampai ke wilayah di luar Palestina. Karena orang-orang yang percaya kepada Yesus itu tersebar di berbagai kota, dan tidak selamanya para rasul bisa hadir di tengah mereka, maka kadang-kadang komunikasi dilakukan melalui surat. Surat itu bisa berisi wejangan untuk menyelesaikan masalah atau pengajaran atau cerita-cerita tentang kehidupan Yesus.
              Baru sesudah para murid meninggal dan umat yang percaya kepada Yesus Kristus semakin banyak, muncullah kebutuhan akan tulisan baik mengenai hidup Yesus, karya-Nya, sabda-Nya maupun akhir hidup-Nya. Berkat bimbingan Roh Kudus, mereka menuliskan kisah tentang Yesus berdasarkan cerita-cerita dari para saksi mata, para pengikut-Nya yang sudah beredar dan berkembang luas di tengah-tengah (bacalah Lukas 1:1-4). Tentu tulisantulisan tersebut dipengaruhi oleh kemampuan, iman dan maksud serta tujuan penulis serta situasi jemaat yang dituju oleh tulisan itu.
              Oleh sebab itu, kita tidak perlu heran jika tulisan-tulisan dari para penulis tentang Yesus tersebut terdapat perbedaan. Sebab, mereka bukan menulis suatu laporan atau sejarah tentang Yesus melainkan melalui tulisan itu mereka mau mewartakan iman mereka (dan iman jemaat) akan Yesus Kristus, sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
              Untuk memahami lebih dalam tentang proses tersusunnya tulisan-tulisan mengenai Yesus Kristus, kita harus mulai dari periode hidup Yesus sampai pembentukan kanon Perjanjian Baru.

2.2 Sejarah Penyusunan Kitab Suci Perjanjian Baru
2.2.1 Antara tahun 7/6 sebelum Masehi (SM) - 30 sesudah Masehi (M)
a). Yesus lahir sekitar tahun 7/6 SM*, dibesarkan di desa Nazaret wilayah Galilea. Ia seorang Yahudi yang saleh yang menaati hukum dengan penuh semangat (bandingkan Matius 5:17). Sekitar tahun 27/28 Masehi Yesus dibaptis di sungai Yordan oleh Yohanes Pembaptis. Kemudian la berkarya sebentar seperti Yohanes Pembaptis, yaitu bersama dengan murid-murid-Nya membaptis (bandingkan Yohanes 3:22-26), tetapi kemudian Ia berkeliling di seluruh Galilea dan Yudea untuk mewartakan Kerajaan Allah. Ketika Yesus lahir dan tampil di depan umum, Palestina berada di bawah kekuasaan Roma dipimpin oleh Agustus dan di Palestina dipimpin oleh Herodes Agung.
b). Dalam situasi seperti itu ada suasana kebencian di kalangan orang Yahudi terhadap penjajah Roma. Sementara itu dalam kehidupan Umat Yahudi sejak lama tumbuh keyakinan bahwa Allah mereka adalah Allah yang setia dan selalu terlibat dalam seluruh kehidupan umat-Nya. Dalam kondisi dijajah oleh bangsa lain mereka menaruh harapan pada Allah yang akan membebaskan mereka dari derita dan penjajahan. Campur tangan Allah itu diyakini akan dilaksanakan melalui seorang tokoh yang disebut Mesias. Mesias digambarkan sebagai utusan Allah, seorang pahlawan yang akan membebaskan Israel dari penjajah dan antek-anteknya. Maka timbullah berbagai gerakan mesianisme. Salah satu gerakan mesianisme bercorak keagamaan adalah seperti yang dirintis Yohanes. Yohanes mewartakan bahwa Allah akan memenuhi janji-Nya, bilamana bangsa Israel bertobat sebagaimana dituntut oleh para nabi (Matius 3:1-12). Yohanes juga memberitakan tentang Yesus sebagai utusan Allah yang akan membawa pembebasan bagi mereka. Seruan pertobatan Yohanes ditanggapi bangsa Israel. Mereka memberi diri dibaptis oleh Yohanes sebagai tanda pertobatan. Yesus pun mengikuti mereka sebagai tanda solidaritas dengan mereka.
c). Setelah dibaptis oleh Yohanes, Yesus meneruskan pesan yang sudah diserukan oleh Yohanes. Tetapi gambaran Yohanes tentang diri Yesus sebagai Mesias berbeda dengan yang dipahami Yesus sendiri. Yohanes menggambarkan bahwa campur tangan Allah akan terlaksana secara mengerikan, sedangkan Yesus menyatakan campur tangan Allah sebagai kabar baik sebagaimana dinyatakan oleh para nabi (bandingkan Yesaya 40:11; 52:7-10), yakni hidup, sabda dan karyaNya.
d). Dalam mewartakan misinya sebagai Mesias, Yesus kerap mengajar dengan  menggunakan  perumpamaan  agar  mudah  ditangkap  oleh orang-orang sederhana. Namun demikian semua disampaikan dengan kewibawaan Ilahi. Itulah sebabnya Yesus selalu bersabda: “Aku berkata kepada-mu... (Markus 1:27). Yesus juga tampil dengan gaya dan cara hidup yang berbeda dengan orang lain. Kerap kali Ia “melanggar” kaidah-kaidah umum yang berlaku, misalnya: menyembuhkan orang pada hari Sabat, bergaul dengan orang-orang berdosa, makan bersama atau mengadakan perjamuan dengan orang-orang yang oleh masyarakat dicap sebagai sampah masyarakat (pendosa), Yesus banyak melakukan mukjizat, mengampuni dosa atau membangkitkan orang mati (yang menurut pandangan banyak orang hal itu hanya bisa dilakukan oleh Allah). Sebagian orang yang melihat tindakan Yesus semakin mengagumi Dia, dan semakin membuat orang bertanya-tanya siapa sebenarnya Dia ini? (bandingkan Markus 8:27-30 dan Injil lain). Tetapi hal yang sama membuat kebencian Kaum Farisi, khususnya para Imam dan ahli Taurat. Yesus dianggap oleh mereka menghojat Allah. Kendati demikian, Yesus tidak takut dan tetap mewartakan kedatangan Kerajaan Allah dan mengajak setiap orang yang mendengar-Nya bertobat dan percaya kepada Injil.
e). Kebencian para pemimpin agama dan kaum Farisi tampak dalam tindakan mereka yang selalu menguji Yesus untuk mencari kesalahan-Nya. Bahkkan diceritakan, bahwa beberapa kali mereka bersekongkol untuk membunuh Yesus, tetapi Yesus berhasil menyingkir, meloloskan diri (Matius 12:14). Hingga pada akhirnya, mereka menggunakan kesempatan perayaan Paska untuk menangkap Yesus. Yesus ditangkap kemudian diadili oleh pengadilan Agama (Sanhedrin) di sini Yesus diputuskan untuk dihukum mati. Maka mereka membawa Yesus kepada penguasa Romawi (Ponsius Pilatus) untuk mengizinkan menghukum mati Yesus. Atas desakan orang banyak, akhirnya Ponsius Pilatus menjatuhkan hukuman mati di kayu salib. Kemungkinan besar hal itu terjadi sekitar tanggal 7 April tahun 30 M.
f). Sejak penangkapan Yesus di Taman Getsemani, murid-murid yang selama ini selalu bersama-sama dengan Dia sangat ketakutan. Petrus menyangkal,  para  murid  yang  lain  entah  ke  mana.  Yesus  harus menghadapi pengadilan sendirian bahkan berjalan salib tanpa mereka. Sampai akhirnya Yesus wafat di Salib. Sesaat seolah-olah apapun tentang Yesus lenyap ditelan bumi. Para murid bersembunyi di rumah-rumah, tidak berani tampil di muka umum. Titik balik mulai muncul, ketika tiga hari kemudian mereka mendapati Yesus bangkit. Tidak ada laporan dan kesaksian yang utuh tentang kebangkitan Yesus. Mereka hanya menceritakan tentang makam Yesus yang kosong, dengan hanya menyisakan kain kafan, serta malaikat yang memberitakan kabangkitan Yesus. Beberapa waktu kemudian, mengalami beberapa kali penampakan Yesus. Mereka mengalami seolah Yesus yang hadir dalam wujud mulia.
g). Kebangkitan Yesus itu memperkokoh iman mereka. Mereka menjadi semakin percaya bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias, Putera Allah, Tuhan dan Penyelamat. Mereka semakin yakin akan segala sesuatu yang telah diwartakan Perjanjian Lama tentang Mesias, dan hal itu dilihat sebagai terlaksana dalam diri Yesus. Keyakinan baru ini dirasakan mereka sebagai datang dari Allah sendiri, bukan hasil olah pikir mereka. Lebih-lebih berkat Pentakosta keyakinan dan keberanian itu semakin menguatkan mereka untuk memberi kesaksian kepada semua orang.



2.2.2 Antara Tahun 40 - 120 Masehi: penyusunan dan penulisan Kitab Suci Perjanjian Baru.
a). Karangan tertua dari Kitab Suci Perjanjian Baru adalah 1 Tesalonika (ditulis sekitar tahun 40 an) sedangkan yang paling akhir adalah 2 Petrus (tahun 120-an)
b). Yesus pasti tidak menulis apapun yang berkaitan dengan karya dan sabda-sabda-Nya, tidak juga menyuruh para murid-Nya untuk menuliskannya, meskipun Ia bisa membaca dan menulis (lihat Lukas 4:17-19 dan Yohanes 8:6). Ia hanya berkeliling mengajar dan berbuat baik (menyembuhkan, mengusir setan dan sebagainya) di dalam pengajaran-Nya Yesus kerapkali menggunakan Kitab Suci, tetapi Kitab Suci yang la gunakan adalah Kitab Suci Perjanjian Lama. Namun karena sabda-Nya dan hidup-Nya serta karya-Nya begitu mengesankan dan berwibawa maka banyak orang tertarik dan mengikuti Yesus. Lebih-lebih setelah kebangkitan, di mana Yesus diakui dengan berbagai macam gelar (Kristus, Tuhan, Juru Selamat dan sebagainya), maka para pengikutnya mulai meneruskan apa yang telah dimulai oleh Yesus. Mereka berkeliling tidak hanya di Palestina tetapi sampai di luar Palestina, untuk mewartakan karya keselamatan Allah yang terlaksana melalui Yesus Kristus.
c). Mula-mula para murid mulai mewartakan Yesus secara lisan. Inti pe-wartaan pada mulanya adalah wafat dan kebangkitan-Nya (bdk. Kisah Para Rasul: Khotbah Petrus pada hari Pentakosta, Kisah Para Rasul 2). Kemudian pewartaan itu berkembang dengan mewartakan juga hidup, karya dan sabda-Nya dan yang terakhir adalah masa muda-Nya atau masa kanak-kanak-Nya. Semua diwartakan dalam terang kebangkitan, karena kebangkitan Kristus merupakan dasar dari iman kepada Yesus Kristus.
d). Setelah komunitas jemaat berkembang di berbagai kota maka seringkali para Rasul berhubungan dengan komunitas tersebut melalui utusan dan surat-surat (Kisah Para Rasul 15:2. 20-23). Itulah sebabnya karangan yang tertua dan tertulis adalah dalam bentuk surat (lihat poin 1).
e). Karena banyak komunitas yang perlu untuk terus dibina, sementara para saksi mata jumlahnya terbatas, maka mulailah juga ditulis beberapa pokok iman yang penting, seperti kisah kebangkitan, sengsara, sabda-sabda Yesus dan karya Yesus dengan maksud untuk membina mereka.
f).  Setelah generasi pertama mulai menghilang, maka dibutuhkan tulisan-tulisan  tentang  Yesus  yang  dapat  dipertanggungjawabkan.  Maka muncullah karangan-karangan yang masih berupa fragmen-fragmen: kisah   sengsara,   mukjizat--mukjizat,   kumpulan   sabda,   kumpulan perumpamaan, dan sebagainya. Dari situ akhirnya disusunlah injil-injil dan kisah para rasul, sampai akhirnya seperti yang kita miliki sekarang ini. Injil itu disusun berdasar atas tradisi, baik lisan maupun tertulis dan yang disesuaikan dengan maksud dan tujuan penulis serta situasi jemaat.

2.2.3 Antara tahun 120 - 400 Masehi: pembentukan kanon (Daftar resmi KS Perjanjian Baru).
a)   Pada awal abad kedua sampai akhir abad kedua muncul begitu banyak tulisan tentang Yesus, yang membingungkan umat beriman. Dalam situasi seperti itu umat mulai mencari kepastian, manakah Kitab-Kitab yang membina iman sejati.
b)   Untuk mengatasi hal tersebut pada akhir abad kedua mulai tahun 200, beberapa tokoh penting mulai menyaring karangan-karangan yang ada. Mereka menyusun daftar karangan yang berwibawa dan layak disebut Kitab Suci. Sementara karangan-karangan yang menyeleweng dari iman sejati ditolak. Salah satu daftar yang terkenal pada saat itu adalah kanon Muratori.
c)   Sekitar tahun 254, Origines, memberikan daftar kisah yang umum diterima dan daftar Kitab-Kitab yang harus ditolak. Juga Eusebius pada tahun 303 menyajikan Kitab yang umum diterima dan sejumlah karangan yang mesti ditolak. Pada tahun 300 secara umum yang sudah diterima sebagai Kitab Suci adalah: 4 injil seperti sekarang; 13 surat Paulus, Kisah Para Rasul, 1 Petrus, 1 Yohanes dan Wahyu
d)  Pada tahun 400, barulah perbedaan pendapat dalam hal jumlah Kitab Suci hampir hilang seluruhnya. Pada tahun 367 Batrik Aleksandria yang bernama Atanasius menyusun daftar Kitab Suci yang termasuk Perjanjian Baru. Jumlahnya 27 seperti yang kita miliki sekarang. Demikian juga Konsili Hippo (393) dan Karthago (397) menetapkan daftar yang sama.

3. BEBERAPA CATATAN PENTING TERKAIT SEJARAH TERBENTUKNYA KITAB SUCI
3.1 Kitab Suci Perjanjian Lama
              Sepanjang masa Allah senantiasa mewahyukan Diri. Pewahyuan Diri Allah pada dasarnya tertuju kepada semua manusia dari segala bangsa. Pewahyuan Diri Allah yang universal itu, ditanggapi dengan berbagai macam cara dan sikap. Dari sekian banyak bangsa manusia, ada satu kelompok bangsa yang menanggapi pewahyuan Diri Allah itu secara khas, yaitu bangsa Israel, yang sekaligus dipakai Allah untuk menjadi sarana dalam menyampaikan rencana penyelamatan-Nya, sebagaimana terungkap dalam Kitab-Kitab Perjanjian Lama.
            Mengingat isi Perjanjian Lama yang sangat penting itu, maka membaca dan mendalami Kitab Perjanjian Lama merupakan keharusan. Mengapa demikian:
Pertama, dengan mempelajari Perjanjian Lama, kita akan melihat bagaimana Allah secara terus-menerus dan dengan setia menyatakan Diri-Nya untuk dikenal; dan bagaimana bangsa Israel menanggapipewahyuan Allah itu. Hubungan timbal-balik antara Allah dengan bangsa Israel tersebut dapat menjadi cermin bagi manusia yang hidup zaman sekarang dalam membangun relasi yang lebih baik dengan Allah.
Kedua, Kitab Suci Perjanjian Lama bukan buku yang pertama-tama hendak menguraikan fakta-fakta sejarah, melainkan dan terutama hendak mengungkapkan Allah yang berfirman, yang menyampaikan rencana dan tindakan penyelamatan kepada manusia. Perjanjian Lama adalah Firman Allah. Karena Firman Allah, maka manusia diminta untuk mau mendengarkan dan menjalankan apa yang difirmankan-Nya.
Ketiga, beberapa bagian kitab Perjanjian Lama berisi nubuatnubuat tentang Juru Selamat yang dijanjikan Allah, yang digenapi dalam diri Yesus Kristus. Oleh karena itu, pemahaman diri Yesus Kristus sebagai penggenapan janji Allah dapat sepenuhnya dipahami bila kita mempelajari Perjanjian Lama.
Keempat, Yesus sendiri sebagai orang Yahudi mendasarkan pengajaran-Nya dari Kitab Perjanjian Lama. Ia tidak meniadakan Perjanjian Lama, melainkan meneguhkan dan sekaligus memperbaharuinya.

3.2 Kitab Suci Perjanjian Baru
              Para penulis Kitab Suci berkat ilham Roh Kudus, menuliskan kesaksian imannya dalam Kitab Suci untuk semua orang yang beriman. Ia tidak menyusun buku untuk pajangan atau hiasan. Dengan kata lain, Kitab Suci Perjanjian Baru menjadi benar-benar kitab yang bermakna dan kitab yang hidup bila dibaca dan direnungkan, serta nilai-nilainya diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
              Konstitusi Dogmatik tentang Wahyu Ilahi menegaskan bahwa: Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru ditulis di bawah bimbingan Roh Kudus; Allah adalah pengarang yang benar dan “harus diakui bahwa Alkitab mengajarkan dengan teguh dan setia serta tanpa kekeliruan kebenaran, yang oleh Allah dikehendaki supaya dicantumkan dalam Kitab-Kitab Suci demi keselamatan kita” (DV art. 11). Untuk itu menjadi norma bagi iman dan ajaran Kristiani, serta sebagai sabda Allah yang merupakan sumber yang kaya bagi doa pribadi.
              Ada beberapa alasan perlunya kita membaca dan mendalami sabda Tuhan yang terdapat dalam Kitab Suci tersebut.
Pertama, iman kita akan tumbuh dan berkembang dengan membaca Kitab Suci. Santo Paulus dalam suratnya kepada Timotius menegaskan, “segala tulisan yang diilhamkan oleh Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16-17).
Kedua, kita tidak akan mengenal Kristus jika kita tidak membaca Kitab Suci. St. Hironimus mengatakan, “Tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus”. Kutipan inilah yang akhirnya juga dikutip kembali oleh Konsili Vatikan II dalam dokumen Dei Verbum. Kutipan itu hendak menegaskan bahwa sarana utama untuk dapat mengenal Kristus adalah Kitab Suci.
Ketiga, Kitab Suci adalah buku Gereja, buku iman Gereja. Kitab Suci adalah sabda Allah dalam bahasa manusia, Gereja menerimanya  sebagai yang suci dan ilahi karena di dalamnya mengandung sabda Allah. Dan sebab itu, Kitab Suci (Alkitab) bersama Tradisi menjadi tolok ukur tertinggi bagaimana kita mengenal iman Gereja. Untuk itu, Gereja menghendaki agar kita semua semakin membaca dan mendalami Kitab Suci, seperti ditegaskan oleh bapa-bapa Konsili: “Konsili mendesak dengan sangat semua orang beriman supaya seringkali membaca Kitab-Kitab Ilahi untuk memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus” (DV art. 25). Pun pula, melalui Kitab Suci ini, kita juga dapat semakin mendekatkan  diri dengan saudara-saudara kita dari Gereja-gereja Kristen lain.
              Karena Kitab Suci adalah Sabda Allah , maka untuk dapat menangkap isi pesannya hanya mungkin dibaca dan direnungkan dengan iman kepercayaan, dan bahwa dalam Kitab Suci itu Allah sungguh hadir dan bersabda. Kita juga perlu membaca Kitab Suci dengan doa dengan berharap bahwa apapun yang difirmankan Allah mampu kita terima, entah itu nasehat, teguran, atau peneguhan untuk hidup iman kita. Kita perlu membaca Kitab Suci disertai dengan kesediaan untuk bertobat, membiarkan hidup kita siap diperbaharui, diubah dari dalam sampai  keakar-akarnya, sehingga dalam kehidupan selanjutnya kita menjalani hidup baru dan meninggalkan dosa. Dan yang paling penting adalah kemauan mewujudkan firman Allah dalam kehidupan sehari-hari. “Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja, sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri” (Yakobus 1:22)
              Memang untuk mencapai hasil maksimal dari manfaat membaca Kitab Suci tidak bisa diraih dengan mudah. Kita membutuhkan ketekunan yang terus menerus, sampai menjadi kebiasaan dan kebutuhan. Andaikan setiap orang selalu merasa haus untuk selalu menimba kekuatan dari firman-Nya, betapa indah hidup ini.

SUMBER REFERENSI
Sumber Utama
Alkitab. Terjemahan ini diterima dan diakui oleh Konferensi Waligereja Indonesia. Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2005.
Sutarman, Maman dan Sulis Bayu Setyawan. Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti; Untuk SMA/SMK Kelas X (Buku Guru). Jakarta : Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Sumber Pendukung
Carson, Thomas dan Joann Cerrito (ed.), The New Catholic Encyclopedia, Second Edition. Catholic University of America.
Dianne Bergant – Robert J. Karris (ed.). Tafsir Alkitab Perjanjian Lama (Judul asli: The Collegeville Bible Commentary). Diterjemahkan oleh A.S. Hadiwiyata – Lembaga Biblika Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Groenen, C. Pengantar Kitab Suci Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1980.
Groenen, C. Pengantar ke dalam Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Hinson, David F. Sejarah Israel pada Zaman Alkitab (Judul asli: History of Israel). Diterjemahkan oleh  Mawene. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Katekismus Gereja Katolik. Diterjemahkan oleh Herman Embuiru. Ende: Arnoldus, 1995.
Komisi Kateketik KWI . Pendidikan Agama Katolik untuk SMA/K Kelas X. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Konferensi Wali Gereja Indonesia. Iman Katolik. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Suharyo, I, Pengantar Injil Sinoptik, Yogyakarta: Kanisius, 1989.



* Disusun oleh Antonius Ngadikir sebagai Bahan/Materi Pelajaran Pendidikan Agama Katolik dan Budi Pekerti Kelas X (Semester Ganjil) SMA Xaverius Lubuklinggau.
[1] Sekarang Iran.
[2] Raja Persia ini mengijinkan umat Israel kembali ke tanah airnya setelah sebelumnya ia berhasil menguasai/mengalahan Kerajaan Babilon. Kendati diijinkan kembali ke tanah airnya (negeri Palestina), namun tidak semua yang berada di negeri Babel ingin kembali ke Palestina. Hanya sebagian dari mereka yang secara berangsur-angsur kembali ke tanah airnya di negeri Palestina.

No comments:

Post a Comment